Kamis, 10 Maret 2011

PENELITIAN KRITIS DAN PENDIDIKAN ILMU-ILMU SOSIAL

Posted by ABDURROCHMAN 06.27, under | No comments

PENELITIAN KRITIS DAN PENDIDIKAN ILMU-ILMU SOSIAL
Oleh : Cleo H.Cherryholmes
Alih Bahasa : Abdul Rochman

Penelitian (research) : berasal dari akar kata Perancis, re- (ulang) + cercheir (meneliti) yang berarti meneliti ulang (1577) 1. Penyelidikan dengan seksama atau cermat 2. Pemeriksaan atau pengujian dengan sungguh-sungguh; pengertian khusus : penyelidikan atau eksperimen yang bertujuan untuk menemukan dan menafsirkan fakta-fakta; pembaharuan teori-teori atau hukum-hukum yang diakui berdasarkan bukti-bukti baru, atau aplikasi praktis teori atau hukum baru, atau aplikasi praktis atau hukum baru yang telah diperbaharui 3. Kegiatan pengumpulan informasi pada subjek tertentu.
Kritis (critical) : 1. a. kecenderungan menanggapi secara kuat b. melancarkan atau menyangkut kritikan, juga : menyangkut atau berkaitan dengan pertimbangan suatu tanggapan c. melaksanakan atau menyangkut pertimbangan yang cermat atau penilaian bijaksana d. menyangkut pemahaman yang berbeda dan koreksi ilmiah 2.a. bersangkutpaut, berhubungan atau mencapai suatu titik perubahan atau keadaan yang penting b. penting sekali (crucial), menentukan (decisive) c. sangat diperlukan (indespensable), amat penting (vital) d. dalam keadaan atau mencapai suatu keadaan gawat 3. Dicirikan oleh resiko atau ketidaktentuan atau KRITIS diartikan pula sebagai upaya untuk memastikan sesuatu secara benar dan jelas dengan maksud untuk memberikan penilaian yang adil (Kamus Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary, 1983, hal.1002, 307).
Pernyataan yang mengungkapkan bahwa beberapa penelitian tergolong kritis dan tak kritis sudah barang tentu mengejutkan bagi banyak peneliti lapangan bahkan bagi para penuntut ilmu yang baru saja menyelesaikan mata kuliah pengatar rancangan penelitian dan analisa data. Keritikan acapkali hanya ditujukan pada metode-metode penelitian yang digunakan jika buku-buku (textbook) yang mengupas tentang penelitian sosial dijadikan sebagai pedoman yang absah (valid indicator). Dalam lingkup luas, keritikan tersebut dianggap tak terlalu penting. Aspek inilah yang memerlukan pembahasan pengertian kata penelitian (research) dan kritis (critical).
Kata research berasal dari akar kata Perancis recerche yang diserap ke dalam bahasa Inggris yang hingga kini banyak dituturkan orang. Kata research (recherche) mula-mula diartikan sebagai penyelidikan secara cermat atau pemeriksaan secara seksama atau sungguh-sungguh. Pengertian tersebut agak berbeda dengan pengertian research (penelitian) dalam bidang penelitian pendidikan modern. Oleh karena itu, perlu diindetifikasi secara jelas makna kata kritis dan tidak kritis dalam penelitian.
Pengertian kata penelitian dan kata kritis mula-mula dapat ditelusuri pada abad ke-16 (aspek historis). Menurut pandangan penelitian modern, kedua pengertian kata tersebut agak berbeda dengan pengertian salah satu di antara buku-buku berpengaruh dalam penelitian pendidikan. Salah satu di antaranya Foundations of Behavioral Research karya Kerlinger (1973) yang menyatakan bahwa buku penelitian ini :
Risalah (karangan ringkas) tentang penelitian ilmiah; ia membatasi diri pada sesuatu yang umum diakui sebagai pendekatan (ancangan) ilmiah. Di dalamnya tidak dibicarakan penelitian tentang kesejarahan, penelitian hukum, penelitian kepustakaan, telaah filsafat, dan sebagainya. Singkatnya, buku ini menekankan pemahaman tentang pemecahan masalah melalui penelitian ilmiah (hal.viii).
Selanjutnya ia menambahkan, “ Penelitian adalah pedoman terhadap dalil-dalil hipotesa mengenai praduga-praduga yang saling berhubungan di antara fenomena-fenomena yang dilakukan secara sistematis, terkendali, empiris dan kritis”
Penelitian pendidikan tak bersangkutpaut dengan fenomena-fenomena yang berlaku lazim; fisikawan menelaah fenomena alam ketika mereka menelaah lubang hitam di angkasa luar, gravitasi, waktu dan cahaya dan sebagainya, sebaliknya, para peneliti pendidikan menelaah fenomena-fenomena yang terkonstruk (terkonsep) secara sosial ketika mereka mempelajari interaksi dalam ruang kelas atau kondisi akademik sekolah atau prestasi ujian siswa.
Kerlinger selanjutnya mengungkapkan pengertian tentang kritis dalam penelitian. Menurutnya, “ Ilmuwan harus selalu menyandarkan gagasan-gagasannya pada telaah dan uji empiris. Ia mutlak amat kritis terhadap hasil penelitiannya sendiri dan hasil penelitian ilmuwan-ilmuwan lain” (hal.11). Dalam hal ini, keritikan berlaku bilamana para peneliti itu saling mengecek (mencocokkan) satu sama lain terhadap kekeliruan-kekeliruan yang terjadi. Menurutnya, menelusuri etimologi/asal-usul kata-kata (dalam tulisan ini yang dibicarakan adalah makna kata penelitian dan kritis) tidaklah perlu sebab ia sifatnya historis, bersifat kebahasaan, atau filosofis, atau ketiga-tiganya.
Akan tetapi, dalam upayanya membedakan penelitian ilmiah dan non-ilmiah, Kerlinger menemui persoalan yang gagal ia pecahkan. Persoalan itu adalah penafsiran :
1. Metodologi (penafsiran taraf keabsahan (validitas) penelitian),
2. Aplikasi/ praktek (keberlakuan yang diterima secara universal/ generalisasi)
3. Hasil penelitian (kemampuan untuk aplikasi suatu penelitian)
Untuk menjernihkan dua hal yang kontradiktif di atas, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Semua penelitian berlangsung dalam konteks historis. Konstruk-konstruk teoritis, pengujian hipotesa, dan penilaian terhadap teori-teori merupakan objek-objek yang tergolong dalam rangkaian historis.
2. Upaya untuk menetapkan batasan tegas antara penelitian ilmiah dan filsafat adalah upaya tak masuk akal. Ini mudah dibuktikan. Menurut sebagian besar standar-standar yang diterapkan peneliti empiris, kandungan internal teori mutlak tak boleh berubah dan tak bisa saling bertentangan. Keputusan menentukan kedua aspek ini mengandalkan logika. Logika adalah cabang filsafat. Contoh lain, ilmuwan mengkaji pengertian istilah teori mereka sendiri berpedoman pada istilah-istilah dalam cabang-cabang filsafat seperti semantik, filsafat bahasa, filsafat ilmu pengetahuan dan epistemologi.
Pendapat Kerlinger mengenai pengertian kata penelitian mengesam-pingkan pengertian asal kata research/ recherce (makna historisnya). Pandangan Kerlinger mengenai pengertian penelitian menunjukkan pijakan radikal (amat mendasar sampai kepada hal prinsip), merombak dan membatasi pengertian historisnya. Demikian pula, pengertian ilmiah baru yang ia ajukan tetap tidak jelas.
Keritikan didefenisikan sebagai sesuatu yang “menyangkut pelaksanan pertimbangan yang cermat atau penilaian bijaksana” atau didefenisikan sebagai “menyangkut pemahaman yang berbeda dan koreksi ilmiah”. Namun keritikan memiliki sisi negatif jika tak ada kepekaan pemahaman dan penafsiran yang dapat memberikan sumbangsih pengaruh yang bersifat produktif dan membangun.
Oleh karena itu, maka sangatlah perlu membedakan makna kata kritis (critical) dan pertimbangan (judgemental). Menurut Kamus Webster Ninth New Collegiate Dictionary, pertimbangan adalah “suatu ujaran formal pendapat otoritas (para ahli) ”atau “proses membuat opini atau penilaian berdasarkan ketajaman analisa dan perbandingan”, atau “membuat opini atau perkiraan” (1983, hal.653). Dalam melaksanakan pertimbangan,seseorang membuat opini atau melakukan estimasi (perkiraan) dengan menetapkan kriteria dan standar tertentu. Melaksanakan pertimbangan adalah salah satu unsur kritikan sebagaimana yang dikutip dari defenisi pertama dalam Kamus Webster bahwa kritikan didefensikan sebagai “melaksanakan atau menyangkut pertimbangan yang cermat atau penilaian bijaksana”. Pertimbangan didasarkan pada perbandingan dengan menggunakan standar-standar tertentu yang berbeda; sedangkan, kirtikan menyangkut persoalan semata-mata pada standar yang digunakan.
Dalam penelitian kuantitatif, mempersoalkan aspek dalam menafsirkan suatu penelitian dinyatakan sebagai penelitian kritis, jika aspek penafsiran tak dipersoalkan dalam suatu penelitian, maka penelitian itu tergolong penelitian tak kritis. Aspek penafsiran yang dimaksud adalah standar-standar dalam menentukan validitas, taraf generalisasi, dan kemampuan menerapkan penelitian itu.
Kini, penulis akan memperluas dan mengembangkan defenisi Kamus Webster mengenai pengertian kritikan dalam penelitian pendidikan. Keritikan dapat pula diartikan sebagai “kemawasdirian yang tajam terhadap pengertian-pengertian (implikasi), terhadap pengendapan historis bahasa yang kita gunakan’ (Derrida,1972, hal.271). Keritikan berasumsi bahwa standar-standar konvensional secara historis mengalami pengendapan atau bersenyawa dengan praktek bahasa dan institusi sosial hingga saat ini, misalnya dalam bidang pendidikan studi sosial. Namun,kertikan itu sendiri tak memiliki alasan yang memaksakan untuk serta-merta menerima standar-standar tersebut. Kertikan diarahkan dengan maksud menjernihkan (mengklarifikasi) pengertian, metode dan dasar kebenaran dari teks, praktek, pemakaian bahasa dan tindakan (action).
Keritikan sifatnya sederhana dan terbuka, sebab keritikan sendiri dicirikan oleh sifat paradoks (berlawanan azas) dan kontradiktif. Keritikan bergantung pada : 1. Upaya untuk memahami objek-objek yang dibicarakan, 2. Memposiskan jarak dari objek kertikan, tanpa memandang taraf toleransi sosial dan politik, faktual atau faktor berpengaruh lain. Paradoks harus mendekatkan diri (close) pada sesuatu ikhwal (something) dengan maksud membuat pertimbangan-pertimbangan terhadap ikhwal tersebut, sehingga dengan demikian memungkinkan seseorang dapat memahami ikhwal itu secara lebih mendalam. Jadi, aspek kedekatan (closeness) dan jarak (distance) amat diperlukan.
Penelitian ilmu sosial yang menggunakan penelitian kuantitatif terpola dari penelitian ilmu-ilmu pengetahuan alam. Alternatif-alternatif penelitian kuantitatif dalam ilmu-ilmu sosial antara lain : 1. Strukturalisme (aliran yang berupaya menjelaskan gejala sosial budaya dengan cara menekankan pada struktur yang mencakup perangkat aturan), 2. Teori Kritik, 3. Fenomenologi (Etnografi), 4. Hermeneutika, dan 5. Teori Respon Pembaca serta dua bentuk kritikan poststruktural (paska-struktural) dan dekonstruksi. Alternatif-alternatif di atas bersifat melengkapi atau terpisah. Misalnya, kertikan dan teori feminis dan studi sosial hukum tak dibicarakan dalam tulisan ini.

PENELITIAN KUANTITATIF
Aspek kritis diarahkan pada penelitian kuantitatif dalam bidang pendidikan lantaran model penelitian kuantitatif menurut model dalam ilmu-ilmu alam (lihat Kerlinger,1973 dan Borg & gall, 1983). Dalam penelitian kuantitatif, para peneliti mengamati subjek-subjek atau unit-unit analisis yang didefensikan secara objektif oleh kategori-kategori variabel. Kategori-kategori itu antara lain, usia, jenis kelamin, kemampuan akademik terukur, tipe dan banyaknya interaksi-interaksi dalam ruang kelas, dan sebagainya. Ciri khas penting ancangan kuantitatif dalam penelitian yakni opini dan sikap serta keyakinan para peneliti dalam literatur penelitian menentukan apa yang diteliti dan bagaimana meneliti suatu subjek. Korelasi dicari di antara variabel-variabel tersebut dan di antara konstruk-konstruk yang mereka ukur.

1. STRUKTURALISME
Strukturalisme didefenisikan sebagai aliran penelitian yang berupaya menjelaskan gejala-gejala sosial-budaya dengan cara menekankan kepada struktur yang mencakup perangkat aturan. Analisa struktur berdasarkan pada asumsi-asumsi analisa struktur dasar.
Kamus Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary mendefensikan struktur sebagai “ suatu yang disusun dalam pola pengaturan/ organisasi tertentu” (1983, hal.1169). Analisa struktur dapat diaplikasikan dalam telaah pendidikan ilmu sosial, budaya, sastra, sistem politik atau tes prestasi standar. Strukturalisme terdiri dari beberapa unsur (lihat Hawes, 1977; Lane, 1970; Cherryholmes, 1988b, bab 2 tentang strukturalisme dalam pendidikan).
Struktur disusun dan didefenisikan berdasarkan korelasi di antara bagian-bagiannya dan bagian-bagian yang hanya memiliki makna korelasi yang membentuk kesatuan. Analisa struktur sifatnya non-historis dan menghasilkan apa yang disebut sebagai analisa kesesuaian (synchronic analysis). Analisa struktur diarahkan agar bebas nilai, meskipun hasil-hasilnya dapat digunakan untuk tujuan politk dan ideologi. Para analis struktur mengidentifikasi organisasi dari obejk yang ditelaah dengan cara menentukan dwikontras (binary opposition). Misalnya, dwikontras kognitif/ afektif, pembelajaran akademik/ pembelajaran non-akademik, pemahaman koseptual/ pemehaman non-konseptual, cerdas/ tak cerdas, menarik/ tak menarik, fakta/ nilai, dan sebagainya. Kategori yang dinilai dalam struktur itu berada pada kategori pertama, sedangkan kategori kedua kurang bernilai. Pakar pendidikan berpandangan bahwa kategori pertama lebih bernilai dibanding kategori kedua. Organisasi struktur tersebut dapat dipertahankan dan diubah menurut kaidah regulatif dan transformatif.
Salah satu contoh analisa struktur yakni, analaisa struktur yang dilakukan oleh Anyon tahun 1978 yang menganalisa empat textbook dasar terkemuka. Ia menganalisa korelasi antara kelas sosial, pengetahuan sekolah, legitimasi lembaga sosial dan dukungan ideologi. Dalam analisanya, ia menemukan bahwa sebagian besar keritikan politik diabaikan atau secara terus-menerus diberikan kesan buruk. Ia berupaya menelaah teori kapitalisme. Ternyata empat textbook itu di dalamnya menerangkan pandangan ideal bangsa Amerika, dan ikhwal yang tak selaras dengan pandangan, kondisi maupun membatasi perwujudan pandangan ideologi itu dikesampingkan dalam textbook itu. Anyon menyimpulkan bahwa meski buku-buku itu menyuguhkan muatan yang sifatnya non-politis dan bersikap netral, dari sudut pandang ideologis, sebenarnya bermuatan politis.
Hampir semua penelitian pendidikan modern dirancang untujk menemukan struktur dasar, proses dan hasil. Rorty (1985) menyatakan sebagai berikut “bahwa tujuan telaah ilmiah pada manusia adalah memahami ‘struktur dasar’, atau faktor-faktor yang berbeda dari sudut pandang budaya’ atau ‘pola-pola yang ditentukan dari aspek biologis’ (hal.5). Selaras dengan analisa struktur, berbagai pakar peneliti pendidikan berupaya untuk membebaskan diri mereka sendiri dari nilai-nilai dan ideologi, dan semata-mata hanya melaporkan fakta-fakta yang mereka peroleh, ciri ini misalnya terdapat dalam penelitian kuantitatif dan penelitian etnografi. Namun di lain pihak, masih diperdebatkan bahwa hampir semua praktek pendidikan modern termasuk pendidikan ilmu sosial dijadikan dasar pijakan sebagai hasil dan prinsip struktur yang dikehendaki.
Pada dasarnya, analisa struktur sedikit diaplikasikan dalam penelitian ilmu-ilmu sosial. Masih banyak masalah struktur yang harus ditelaah. Masalah tersebut berlingkup luas dan meliputi antara lain apakah struktur pengetahuan ilmu sosial dan kemanusian meningkatkan pendidikan pendidikan ilmu sosial ? Apakah struktur yang teridentifikasi dalam materi pelajaran seperti textbook ilmu sosial, metode ilmu sosial, tes prestasi standar, pedoman kurikulum sekolah dan departemen pendidikan negara saling topang-menopang ataukah saling bertentangan satu sama lain? dan sebagainya.

2. TEORI KRITIS DAN PENELITIAN
Meskipun penganut teori kritis dan peneliti kritis tak berseberangan dalam segi struktur dasar, dalam beberapa segi mereka bertolak belakang dalam strukturalisme. Teori kritis tak netral nilai, analisa mereka non-historis, atau hanya terfokus pada perubahan struktur sosial. Mereka hanya menitikberatkan pada teori-teori penuturan dan komunikasi sosial (pragmatik universal) yang berupaya mencegah pemutarbalikan (penyimpangan) sistem komunikasi.
Teori Kritis dicetuskan oleh para perintis dari Institut Penelitian Sosial Frankfurt (Frankfurt Institute of Social Research) serta para pengikut alirannya, yang dikenal dengan sebutan Mazhab Frankfurt (Frankfurt School) (Jay, 1973). Para perintis terkemuka teori ini yaitu Max Horkheimer, Herbert Mercuse, Theodor Adorno, Walter Benjamin, dan teoritikus modern Jurgen Habermaz. Mereka amat dipengaruhi oleh karya Karl Marx, tetapi bukan aspek dogmatisnya.
Para penganut teori kritis mengungkapkan bahwa berbagai tipe struktur simbolis dan material tak dibenarkan memberikan hak-hak istimewa kepada beberapa individu dan kelompok tertentu, sedangkan individu dan kelompok lain dikesampingkan. Pengikut aliran ini berupaya untuk mengungkap ketimpangan dan katidakadilan sosial seperti itu – misalnya, hal-hal yang berkenaan dengan rasialisme dan diksriminasi jenis kelamin, eksploitasi terhadap kaum buruh tak terpelajar, pemberian hak-hak yang tak adil dalam jaminan kesehatan universal bagi siapa saja, dan sebagainya.
Setidak-tidaknya, dalam satu dasawarsa, gagasan tentang Teori Kritis sudah banyak dimuat dalam berbagai literatur. Kickbush (1985) berpendapat bahwa wacana tentang aspek kritis belum banyak memainkan peran utama dalam pendidikan ilmu-ilmu sosial. Berdasarkan pengamatannya dalam ruang kelas, ia menemukan bahwa pembahasan tentang kerusuhan Sipil di kota New York, misalnya, terfokus pada siapakah pelaku kerusahan itu dan bagaimana mereka terluka. Persoalan-persoalan empiris terhadap segi-segi persepsi tentang ketidakadilan seperti ini bukannya tanpa nilai, tetapi menyuguhkan sedikit minat pada segi-segi persepsi tentang ketidakadilan yang menyebabkan timbulnya kerusuhan tersebut.
Selanjutnya Kickbusch (1987) menemukan bahwa masalah-masalah pokok dalam wacana di ruang kelas adalah hal yang berkenaan dengan manajemen dan kontrol serta aspek kewarganegaraan. Ia menyimpulkan bahwa pendidikan univeritas dan training pengajaran, bukanlah suatu pendorong kebebasan, tetapi merupakan pengaruh konservatif yang kuat terhadap sekolah dan perguruan tinggi.

3. PENELITIAN INTERPRETATIF (PENAFSIRAN) : FENOMENOLOGI, HERMENEUTIKA DAN TEORI RESPON PEMBACA
Fenomenologi, Hermeneutika dan Teori Respon Pembaca memiliki korelasii yang longgar. Peneliti fenomenologi berupaya untuk mengadopsi ujud kebebasan radikal yang memungkinkan fenomena yang diamati menampilkan dirinya apa adanya. Peniliti hermeneutika berupaua untuk menentukan makna asli teks sebagaimana yang dimaksud pengarangnya. Sedangkan peneliti respon pembaca melakukan penelitian dengan maksud untuk mengetahui bagaimana pembaca mengalami dan memahami teks yang mereka baca.
Para peneliti yang berorientasi fenomenologi dalam penelitian pendidikan sosial dan bidang pendidikan umumnya tak pernah secara serius memiliki gagasan yang jauh lebih penting daripada waktu, tempat dan subjektifitas seseorang. Namun, mereka mempertahankan gagasan ‘kebebasan” dan “keterbukaan” itu sendiri secara psikologis dan kognitif bagi kaum pelajar dan terhadap pengajaran melalui proses pendengaran, pengamatan, penjelasan pelaporan dan penglihatan.
Penelitian hermeneutika berakar dari tradisi yang lebih tua tentang ajaran belajar. Para peneliti hermenutika dan fenomenologi sama-sama menghadapi masalah bagaimana menafsirkan kata-kata pada sebuah halaman dan bagaimana manafsirkan pengamatan-pengamatan mereka. Pada masa kini, ikhwal tentang penafsiran tersebut telah beralih ke fokus mengenai respon pembaca pada teks-teks, termasuk teks sosial di seluruh dunia. Bagaimana-kah pembaca “memahami” atau “menghasilkan” suatu teks ?
Istilah teks (text), tekstualitas (textuality), intertekstualitas (intertextuality) merupakan kata-kata yang acapkali digunakan dalam penelitian ini dan pendeskripsiannya. Lewis dan Simon (1986) mendefenisikan kata teks sebagai berikut :
“Teks” berkenaan dengan perwujudan nyata praktek-praktek tertentu yang terorganaisir dalam wacana tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari, membuat suatu pengertian tidaklah berlangsung dalam kondisi terisolasi, namun membentuk kompleks-kompleks yang terorganisir secara utuh dalam ruang dan waktu. Contoh-contoh teks meliputi komunikasi tertulis, komunikasi tertutur, komunikasi non-verbal melalui gerak dan ekspresi tubuh, dan bentuk-bentuk visual seperti lukisan, foto dan patung (hal.458).
Pengaruh Fenomenologi
Dalam melaksanakan penelitian, fenomenologi mengeritik asumsi-asumsi yang dibuat oleh para peneliti kuantitatif. Orientasi penelitian fenomenologi menyatakan bahwa peneliti harus membebaskan dirinya terhadap pengaruh dari faktor-faktor yang bisa memberikan pengaruh terhadap hasil-hasil penelitian, seperti faktor masyarakat, budaya, literatur penelitian, dan melaporkan hal-hal sebagaimana adanya, yang diperoleh dan diamati di lapangan tanpa terpengaruh oleh faktor-faktor tersebut. Fenomenologi sebagai bagian dari pemikiran filsafat yang mula-mula dirumuskan oleh Husserl (1962/1979). Ia mengajukan suatu ancangan agar seorang peneliti menolak dan menafikkan ujud yang dibuat-buat sebagai suatu realitas, dan ancangan yang digunakan oleh peneliti fenomenologi haruslah berdasarkan benar-benar kepada aspek-aspek objektif (tak berat sebelah) yang diamati secara riil.
Dalam melakukan penelitian fenomenologi, peneliti menggunakan suatu ancangan yang memandang dunia amat bertolak belakang dengan pandangan para peneliti kuantitatif. Fenomenologi menghendaki bahwa peneliti melakukan, atau setidak-tidaknyua, suatu tindakan filsafat yang benar-benar murni dalam penelitian mereka, tanpa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil penelitian, sehingga penelitian mereka diperoleh berdasatkan apa yang terjadi dan terlihat secara murni dan apa yang diperoleh di lapangan, yang dikatakan oleh Husserl dengan istilah epoch.
Martin Heideger (1949) murid Husserl menyatakan bahwa kepercayaan suatu penelitian, tergantung dari kebebasan. Ia menjelaskan korelasi antara aspek kebebasan dan keyakinan sebagai berikut, “inti sari dari keyakinan adalah kebebasan, dalam arti tak terpengaruh faktor-faktor luar yang mengikat dalam melaksanakan dan mengamati suatu fenomena dan melaporkannya sesuai dengan fakta riil.
Pengaruh argumen-argumen fenomenologi ini mengarahkan perhatian kepada penafsiran-penafsiran terhadap subjek penelitian, bukan penafsiran yang dipengaruhi oleh faktor-faktor luar. Salah satu pengaruh fenomenologi yakni penafsiran murni tentang apa yang terjadi dan apa yang penting dari suatu subjek yang diteliti. Sebagaimana halnya penelitian etnografi, hermeneutika dan penelitian respon pembaca, penelitian fenomenologi tergolong pula sebagai penelitian interpretatif.
Van Manen (1975) adalah ilmuwan yang mula-mula memperkenalkan gagasan fenomenologi ke literatur ilmu sosial, lantaran tanggapannya terhadap Shaver dan Larkins (1973) yang mengupas tentang penelitian ilmu sosial dalam karyanya yang berjudul Second Handbook of Research on Teaching.
Larkins (1975) mendukung pernyataan Van Mannen bahwa pendidikan ilmu-ilmu sosial akan meraih manfaat dengan memetakan kisaran metodologi penelitin yang lebih luas. Namun demikian, ia menyatakan bahwa ada beberapa persoalan dalam argumen Van Mannen itu, yakni tentang aspek kesalinghubungan antara faktor penindasan dan emansipasi dalam penelitian pendidikan dan penelitian ilmu sosial.
Hal demikian barangkali lantaran studi-studi interpretatif hanya terbatas dilaporkan dalam kajian pendidikan ilmu sosial. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam dan inovatif dari berbagai sudut pandang seperti jenis kelamin, etnis, ras dan kelas dalam studi pendidikan sosial secara mendetail. Kita masih sedikit memahami tentang pendidikan studi sosial dari sudut pandang pelajar dan pengajar, sehingga masih diperlukan penafsiran dan pemahaman makna yang lebih luas dalam studi pendidikan ilmu sosial.
Hermeneutika dan Teori Respon Pembaca
Hermeneutika bersangkutpaut dengan penafsiran dan dengan ancangan ini. Para peneliti berupaya untuk mempertahankan pengertian dengan menghantarkan pengertian itu ke dalam praktek-praktek sosial dan teks-teks literatur yang dihasilkan oleh manusia (Dreyfus & Rabinow, 1983). Teori respon pembaca bersangkutpaut dengan bagaimana teks “direalisasikan” saat mereka membaca teks (Suleiman & Crossman, 1980; Tompkins, 1980). Hermeneutika berbeda dengan Teori pespon pembaca dan lebih ditekankan penjelasan dalam tulisan ini adalah teori respon pembaca.
Teoritikus Respon Pembaca menyatakan bahwa makna suatu karya yang dibaca oleh pembaca dipandang sebagai aspek yang menjadi titik pangkal persoalan. Menurut Hirsch, pembaca dapat menemukan “pengertian” yang berbeda dalam suatu karya tergantung pada tujuan, budaya, etnis, kelas, atau situasi sejarah dari pihak pembaca sendiri, namun pengertiannya tetap sama.
Teori Respon Pembaca relatif merupakan penafsiran tekstual yang baru berkembang di era sekarang. Teori Respon Pembaca merupakan teori yang menerangkan bagaimana pembaca menunjukkan suatu respon terhadap karya/ buku ilmu sosial, dimana pihak pembaca sendiri memberikan penafsiran-penafsiran yang muncul yang ditafsirkan secara berbeda-beda, yang boleh jadi penafsiran yang dilakukan menunjukkan pola penafsiran yang saling bertolak belakang atau berbeda tajam, dalam artian tergolong sebagai penafsiran paradoks (berlawanan azas).
Namun demikian, para peniliti ilmu-ilmu sosial menolak sejumlah asumsi-asumsi Teori Respon Pembaca tersebut. Pertama, peneliti ilmu sosial berasumsi bahwa textbook sifatnya tegas dan jelas – dimana di dalamnya memiliki satu pesan dan satu keyakinan yang harus diwartakan. Kedua, kesenjangan (gap) yang terdapat dalam suatu teks yang dibaca oleh pembaca teks itu acapkali merupakan statatemen-statemen politis dan bukan merupakan bagian dari teks itu sendiri. Ketiga, pengajaran dan pembelajaran dalam ilmu-ilmu sosial, sifatnya responsif terhadap tes prestasi standar yang mengarahkan dan menuntun kepada pembacaan dan respon yang “akurat”.

4. KRITIKAN POST-STRUKTURAL
Pemikiran post-struktural lazim diIstilahkan dengan sebutan pemikiran post-modernisme atau post-analitik yakni perkembangan analisa struktur yang ditelaah oleh para peneliti kuantitatif, strukturalis, dan etnografi. Ada 2 versi post-strukturalisme yaitu analitik interpretatif Michael Foucald yang menafikkan keberadaan sub-struktur lazim dasar dari fenomena-fenomena sosial, dan dekonstruksi Jacques Derrida, yang menafikkan keberadaan struktur dalam teks-teks. Penelitian kritis terhadap keduanya, merupakan sesuatu hal baru dalam pendidikan ilmu-ilmu sosial.
Analisis Interpretatif Foucault
Foucault (1972) berminat menelaah praktek-praktek pada lembaga-lembaga sosial modern, kondisi eksistensi lembaga-lembaga itu, dan bidang prakteknya terhadap perkembangan institusi-institusi tersebut. Ia menyatakan bahwa praktek-praktek yang ia kaji, seperti penjara modern (1975/ 1979), lembaga mental (1973), rumah sakit (1975) dan seksualitas (1980) diorganisir dan dijalankan dengan pola yang teratur, namun ia menyangsikan bahwa institusi-isntitusi itu dipengaruhi oleh hukum-hukum alamiah atau objektif yang diperoleh berdasarkan analisa struktur batin (deep structure analysis). Ia menafikkan label yang digunakan para pengikut strukturalis.
Sewaktu Foucault mengawali karir profesionalnya, strukturalisme merupakan orientasi intelektual dominan di Perancis. Ini dimaklumi lantaran strukturalisme bukan semata dijadikan ancangan dan metodologi ilmiah, tetapi juga dijadikan sebagai prinsip ideologi. Contoh dalam hal ini adalah struktur birokrasi modern.
Bannet menyatakan (1986)
“Birokrasi” …. mengklasifikasi, mengatur, memprogram, mengontrol, dan menentukan setiap aspek kehidupan, sehingga tak ada ruang bagi inovasi dan kreativitas. Yang dianggap ideal adalah sistem strukturalis yang dijalankan oleh para teknokrat”
Foucault mengungkapkan bahwa pengetahuan dan ikhwal yang diarahkan demi kebenaran adalah produk dari sejarah, kekuasaan, dan kepentingan sosial. Sedangkan para penganut teori kritis bersangkpaut dengan pengaruh ideologi dan kekuasaan. Foucault menghindari menggunakan istilah ideologi sebab kebenaran mutlak tak dapat ditegaskan secara kukuh. Jadi, wacana sosial dan praktek sosial keduanya merupakan pengaruh dan praktek dari kekuasaan. Misalnya, kita dapat mengungkapkan dalam pendidikan ilmu sosial adalah pengaruh dari kekuasaan yang dapat dilacak dalam sejarah.
Pengaruh karya Foucault kelihatan dalam berbagai bidang seperti dalam sejarah, teori keritik literatur, sosiologi, teori sosial, filsafat politik, dan penelitian pendidikan. Lesko (1988b), misalnya, menggunakan konsep Foucault mengenai biopower (kekuatan-hayati) dalam telaah mereka pada cheerleader (pesorak)., misalnya dalam memotivasi suatu pertandingan. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa organisasi cherleader nasional dapat mempromosikan diri mereka melalui iklan, dan serta mendorong mereka sebagai wahana untuk meningkatkan status dan perkembangan keterampilan.
Dalam analisa pengarang tentang pengaruh kekuasaan pada textbook ilmu sosial menunjukkan bahwa pendidikan ilmu sosial dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan sosial terhadap pendidikan nasional, sedangkan wacana pendidikan ilmu sosial dikonseptualisasikan oleh para praktisinya seolah-olah ia adalah penjelajahan otonom (Cherryholmes, 1983).
Dekonstruksi Derrida
Dekonstruksi agak berbeda dengan teori kritis dan analisa interpretatif Foucault. Dekonstruksi didasarkan oleh ciri-ciri logis atau non-logis tertentu, sebagaimana yang dijumpai pada bahasa dan teks. Salah satu cara untuk memahami dekonstruksi sebagai suatu perkembangan dalam logika modern argumen dan bahasa alamiah (bahasa alamiah adalah bahasa Rusia, Inggris, Cina dan sebagainya, berbeda dengan bahasa yang dibuat secara buatan/ artficial, seperti bahasa simbol atau bahasa simbol matematis).
Quine (1953) menyatakan bahwa mustahillah kita mengetahui apakah kebenaran premis-premis suatu argumen dipertahankan melalui simpulan-simpulannya sewaktu argumen itu dibuat dalam bahasa alamiah, meskipun pemeliharaan kebenaran itu merupakan karakteristik dorongan argumen deduktif yang valid. Ini dikarenakan karakterisasi jelas suatu pengertian sinonim tak ada. Argumen-argumen dalam bahasa alamiah memerlukan subtitusi satu kata ke kata lain.
Karena dekonstruksi berdasarkan pada sifat-sifat non-logis bahasa dan teks, ia bertolak belakang secara radikal dengan ancangan sebelumnya mengenai kertitik sosial dan penelitian sosial.
Dekonstruksi mulai menunjukkan pengaruhnya dalam pendidikan sosial dan konsepi ini menyuguhkan metodologi yang kuat dalam menganalisa dan mengeritik teks-teks dan penafsiran tekstual. Dekonstruksi menyuguhkan pengertian tekstual yang lebih dalam.

KESIMPULAN
Kata research dalam bahasa Inggris diartikan sebagai “penyelidikan yang cermat dan sunguh-sungguh” atau “telaah atau pengujian yang seksama”. Taraf keilmiahan suatu penelitian ditentukan oleh pengertian tentang penelitian kritis. Penelitian yang kritis ditentukan oleh :
1. Pengertian tentang kata penelitian dan kata kritis berdasarkan :
- aspek historis (asal usul kata penelitian dan kritis)
- aspek kebahasaan (makna sesungguhnya dalam bahasa)
- telaah kepustakaan (kajian mendalam tentang kedua kata itu)
- telaah filsafat (makna filosofis kedua kata itu)
- dan aspek-aspek lain
2. Penafsiran terhadap :
- metodologi (standar-standar dalam menentukan keabsahan)
- praktek (standar dalam menentukan keberlakuan universal/generalisasi)
- hasil penelitian (standar dalam menentukan aplikasi hasil-hasil penelitian)
Kerlinger mengesampingkan kedua point di atas sesuai dengan kutipan paragraf pernyataannya sendiri dalam karyanya yang berjudul Foundations of Behavioral Research (1973).
Apapun alasannya, kebanyakan peneliti pendidikan beranggapan dan berkeyakinan bahwa penelitian yang ‘serius” haruslah tergolong penelitian kuantitatif dalam bidang pendidikan. Mereka secara kolektif mengesampingkan salah satu dari banyak pelajaran dasar yang diajarkan dalam rancangan dan metodologi pendidikan yaitu angka (number) memerlukan penafsiran (point 2 di atas) dan penafsiran adalah suatu persoalan. Namun, ironisnya kebanyakan peneliti kuantitatif setuju mengabaikan aspek itu sehingga lahirlah istilah penelitian kritis dan penelitian non-kritis.
Tulisan ini banyak menyinggung penafsiran dana analisa kritis pengajaran dan pembelajaran ilmu sosial. Teori kritis dan analisa interpretatif mengharuskan pendidik ilmu-ilmu sosial menengok sejarah, pengaruh dan aplikasi kesejarahaan dan menyimpangan kebenaran komunikasi dalam upaya untuk memahami apa yang terjadi dan apa yang sedang berlangsung di dunia. Teori respon pembaca menyuguhkan kepada para pembaca (pelajar, pendidik, guru, pendidik kependidikan) pada teks-teks dunia untuk menjadikan mereka pembaca yang tergolong sebagai produsen dan konsumen tes bersangkutan. Dekonstruksi menyatakan bahwa teks-teks kita bukanlah otoritatif yang mendasar.

0 komentar:

Posting Komentar

Nama ditulis pada Pilihan Select Profile

Tags

PENDIDIKAN NILAI

IMAM GAZALI BERTANYA

Suatu hari, Imam Al-Ghazali berkumpul dengan murid-muridnya lalu beliau bertanya (Teka Teki ) :

Imam Ghazali = " Apakah yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini ?
Murid 1 = " Orang tua "
Murid 2 = " Guru "
Murid 3 = " Teman "
Murid 4 = " Kaum kerabat "
Imam Ghazali = " Semua jawapan itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita ialah MATI. Sebab itu janji Allah bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati ( Surah Ali-Imran :185).

Imam Ghazali = " Apa yang paling jauh dari kita di dunia ini ?"
Murid 1 = " Negeri Cina "
Murid 2 = " Bulan "
Murid 3 = " Matahari "
Murid 4 = " Bintang-bintang "
Iman Ghazali = " Semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling benar adalah MASA LALU. Bagaimanapun kita, apapun kendaraan kita, tetap kita tidak akan dapat kembali ke masa yang lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini, hari esok dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama sebelum menyesal".

Iman Ghazali = " Apa yang paling besar didunia ini ?"
Murid 1 = " Gunung "
Murid 2 = " Matahari "
Murid 3 = " Bumi "
Imam Ghazali = " Semua jawaban itu benar, tapi yang besar sekali adalah HAWA NAFSU (Surah Al A'raf: 179). Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu kita membawa ke neraka."

IMAM GHAZALI" Apa yang paling berat didunia? "
Murid 1 = " Baja "
Murid 2 = " Besi "
Murid 3 = " Gajah "
Imam Ghazali = " Semua itu benar, tapi yang paling berat adalah MEMEGANG AMANAH (Surah Al-Azab : 72 ). Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka menjadi khalifah pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya berebut-rebut menyanggupi permintaan Allah SWT sehingga banyak manusia masuk ke neraka kerana gagal memegang amanah."

Imam Ghazali = " Apa yang paling ringan di dunia ini ?"
Murid 1 = " Kapas"
Murid 2 = " Angin "
Murid 3 = " Debu "
Murid 4 = " Daun-daun"
Imam Ghazali = " Semua jawaban kamu itu benar, tapi yang paling ringan sekali didunia ini adalah MENINGGALKAN SOLAT (Surah al-Ma'un (4-7). Gara-gara pekerjaan kita atau urusan dunia, kita tinggalkan solat "

Imam Ghazali = " Apa yang paling tajam sekali di dunia ini? "
Murid- Murid dengan serentak menjawab = " Pedang "
Imam Ghazali = " Itu benar, tapi yang paling tajam sekali didunia ini adalah LIDAH MANUSIA (Surah 2:217). Karena melalui lidah, manusia dengan mudahnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri "